Rabu, 21 September 2011

Tukang Gigi dan Risiko Infeksi

Bramirus Mikail | Asep Candra | Senin, 4 April 2011 | 14:57 WIB

 KOMPAS.com -  Di sebuah ruangan yang tak begitu besar dengan peralatan seadanya, Putera hampir setiap hari menangani pasien yang datang ke tempatnya dengan masalah gigi.  Pria berusia 30 tahun itu mengklaim dirinya sebagai seorang ahli gigi. Ia sudah menekuni profesinya sejak tahun 2004 dan membuka praktek di kawasan Jakarta Timur.
Putera menuturkan, keahliannya itu ia peroleh saat mengikuti kursus yang diajarkan oleh seorang tekniker gigi pada 2001 silam di Mojokerto. Tekniker, tutur dia,  adalah rekan dari dokter gigi yang biasa membuat gigi palsu, serta segala hal yang berkaitan dengan kesehatan gigi.

Pasien yang ditangani Putera tak terhitung lagi banyaknya. Namun dari keseluruhan pasien yang datang, kebanyakan adalah para orang tua dengan usia sudah cukup lanjut.  Mereka biasanya datang untuk dibuatkan gigi palsu. "Ya, paling sering sih kakek-kakek yang datang," imbuhnya.
Putera cukup sadar kalau pekerjaan yang dilakukannya itu bukannya tanpa risiko kesehatan. Dalam menangani setiap pasien, ia  mengaku selalu melakukannya dengan sangat hati-hati. Menurut  Putera, ada beberapa hal yang tidak bisa ditangani oleh ahli gigi di antaranya, tambal, cabut gigi, dan memberisihkan karang gigi.  Bahkan untuk memasang gigi palsu, putera pun mengaku tidak sembarang memasangnya.

"Kalo masang gigi palsu juga lihat kondisi gigi pasiennya. Masalahnya, ahli gigi tidak bertindak sembarangan, karena dasar-dasarnya sudah ada," jelasnya.
Selama bertahun-tahun menggeluti profesinya, Putera mengaku tidak pernah ada masalah dengan pelangannya. "Alhamdullilah selama ini nggak ada yang komplain," tambah pria satu anak ini.

Saat disinggung soal ijin praktek gigi yang telah dijalaninya, Putera mengatakan kalau tempat prakteknya sudah mendapat izin dari ASTAGIRI (Asossiasi Tukang Gigi Mandiri). Menurut Putera setiap sebulan sekali, para ahli gigi biasanya kerap mengadakan pertemuan. Salah satu yang menjadi isi kesepakatan dalam pertemuan itu adalah, para ahli gigi disarankan untuk tidak mencabut, dan tambal.

Lalu, bagaimana dengan pemasangan bracket atau kawat gigi? Apakah seorang ahli gigi boleh melakukan pemasangan kawat gigi? Putera sendiri sampai saat ini mengaku belum pernah melakukannya. Dia beralasan, kalau pemasangan behel adalah tugas seorang dokter gigi dan bukan wewenangnya.

Di tempat berbeda, Wahyu yang juga berprofesi sebagai ahli gigi justru mengaku telh terbiasa memasang kawat gigi. Pasien yang datang pun bervariasi, mulai dari hanya iseng-iseng sampai yang memang bermasalah dengan giginya.

Tarif yang biasa dikenakan Wahyu untuk pemasangan behel bervariasi antara dari Rp 1,5 sampai Rp 2,5 juta.  Khusus untuk gigi atas saja, Wahyu mematok  harga Rp 800 ribu. Harga ini tentunya jauh lebih murah ketimbang seseorang ke dokter spesialis gigi.

Wahyu mengklaim, prinsip kerja yang dilakukannya dengan dokter gigi tidak jauh berbeda. Bahkan dia berani menjamin gigi bisa menjadi rapih asalkan rutin kontrol. "Pasang behel, kalau di dokter sama di sini sama saja. Hasilnya pasti sama," tegasnya.

Tapi, ada satu hal yang membedakan ahli gigi dan dokter gigi. "Bedanya kalau di dokter, pasti ada gigi yang dicabut, kalau kita nggak," tambahnya. 

Untuk kontrol pasca pemasangan behel, Wahyu biasanya meminta pasien untuk datang minimal sebulan sekali. Untuk sekali datang kontrol, seorang pasien dikenakan biaya Rp 50 ribu. Sedangkan untuk biaya membersihkan bracket, dan mengganti karet yang lepas, harga yang dipatok relatif sama.

Merry, salah satu pengguna jasa ahli gigi mengatakan, kalau biaya pemasangan behel jauh lebih murah di ahli gigi ketimbang harus ke dokter. Dia pun tak merasa khawatir kalau terjadi  sesuatu yang salah pada giginya. "Kalau bisa cari yang murah lebih bagus, kenapa nggak?" ujarnya.

Perlu ditindak

Menanggapi maraknya praktik tukang gigi, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) drg. Zaura Rini Matram menuntut pengawasan dan tindakan yang lebih tegas dari pemerintah terhadap profesi tukang gigi yang bertindak di luar batas kewenangan.

Pemerintah telah mengatur batasan praktik tukang gigi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 339 tahun 1989 tentang kewenangan pekerjaan tukang gigi.

Dalam salah satu pasalnya  tertulis bahwa tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya diberikan wewenang dalam hal membuat gigi tiruan lepasan dari karilik sebagian atau penuh dan memasang gigi tiruan lepasan.

"Ke depannya, PDGI menganjurkan tukang gigi harus di hapus dan di hilangkan dari masyarakat. Masyarakat harus tahu, ada batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan tukang gigi," ujar Rini.

PDGI  beralasan, pelayanan tukang gigi yang ada saat ini tidak didasarkan pada pemahaman dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran gigi.
"Membutuhkan pendidikan yang lama, karena kita bekerja pada jaringan yang hidup, yang berkaitan dengan kesehatan seluruh tubuh," jelasnya.

Risiko infeksi

Ia menambahkan, pemasangan kawat gigi yang saat ini marak di lakukan tukang gigi juga sangat ditentang PDGI. Jika hal ini dilakukan oleh pihak yang tidak berkompeten, maka bisa membawa efek samping yang lebih parah pada pasien.

Efek itu mulai dari infeksi ringan pada gusi sampai ke jaringan yang lebih dalam pada tulang yang menyebabkan pembengkakan. Selain itu, ada risiko jaringan yang tumbuh tidak normal, arahnya dapat berakibat pada keganasan.

Bukan hanya itu, penanganan yang tidak tepat juga bisa berakibat pada penyakit infeksi lainnya. Misalnya pada ibu hamil bisa berakibat kelahiran prematur dan bayi lahir dengan berat badan yang rendah.

"Tukang gigi sangat merugikan masyarakat, PDGI minta agar peraturan ini dilaksanakan dan ditegakkan. Untuk masalah kesehatan masyarakat, PDGI tidak mau kompromi," pungkasnya.